Search

Siswi SMP 147 bunuh diri di sekolah, KPAI : Hampir semua sekolah tak punya tim pencegahan perundungan - BBC Indonesia

Sekolah di Indonesia didesak membuat sistem pengaduan yang melindungi korban perundungan, menyusul kasus bunuh diri seorang murid di SMP Negeri 147 Jakarta pekan lalu.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut, sejak Permendikbud tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan disahkan, mayoritas sekolah tak memiliki sistem tersebut.

Sementara catatan lembaga itu pada 2018 menyebut, korban perundungan di sekolah mencapai 107 anak.

Kasat Reskrim Polres Jakarta Timur, AKBP Hery Purno, mengatakan hingga saat ini polisi telah memeriksa pihak sekolah terkait meninggalnya murid berinisal N.

Mereka yang diperiksa di antaranya kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan wali kelas. Kendati demikian, pemeriksaan yang sudah berlangsung sejak Jumat pekan lalu itu, belum menemukan titik terang.

"Kita masih dalami, nanti kalau sudah semua kita dapatkan keterangan, nanti akan kita sampaikan," ujar Hery Purnomo kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (19/01).

Sejauh ini, kata dia, polisi masih menggali adanya dugaan unsur perundungan dalam kasus bunuh diri N. Untuk itu polisi akan memeriksa keluarga korban pada Senin (20/01) dan mengonfirmasi sejumlah tangkapan layar percakapan WhatsApp yang diduga dilakukan N dengan seorang temannya --yang kini beredar di media sosial.

"Yang jelas itu (informasi percakapan di media sosial) menjadi salah satu materi penyelidikan apakah yang bersangkutan punya masalah dengan teman-teman sekolah, atau pihak sekolah, atau masalah lain yang melibatkan korban berniat untuk bunuh diri," imbuhnya.

Selain pihak sekolah dan keluarga, polisi juga akan meminta keterangan teman-teman N.

"Nanti teman-teman yang punya kaitan atau berhubungan dengan yang bersangkutan, pasti akan kita mintai keterangan semuanya."

Kasus tersebut terjadi pada Selasa (14/01) lalu. Wakil Sarpas dan Humas SMP N 147 Jakarta, Misnetty, mengatakan seorang muridnya berinisal N meninggal setelah lompat dari lantai empat gedung sekolahnya.

Saat itu, ia berada berada di sekolah dan mendengar suara seseorang yang jatuh.

"Kemudian saya mendengar ada teriakan-teriakan karena saya tidak melihat langsung. Lalu saya buka pintu dan keluar ada siswa yang jatuh," ujar Misnetty kepada Kompas.com.

Korban lantas di bawa ke salah satu klinik terdekat dan kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Tugu Ibu. Tapi karena keterbatasan alat, korban dipindah ke Rumah Sakit Kramat Jati.

"Dua hari dirawat, ya (Kamis 16 Januari meninggal)," imbuh Misnetty.

Sementara Kepala SMPN 147 Jakarta, Narsun, membantah N sebagai korban perundungan.

"Terkait bullying, bukan bullying, tidak ada bullying di sekolah, kalau kita fokus memberi materi di pendidikan pada siswa jadi tidak ada aksi bullying," kata Narsun kepada Kompas.com, Jumat (17/01).

KPAI: Sekolah di Indonesia tak punya sistem perlindungan

Pasca meninggalnya N, beredar di media sosial tangkapan layar percakapan WhatsApp yang diduga dilakukan korban dengan seorang temannya. Dari percakapan tersebut, mengindikasikan N mengalami penganiayaan di rumahnya dan merasa diabaikan teman di sekolahnya.

Gambar percakapan itu membuat warganet menduga N bunuh diri karena dirisak.

Menanggapi dugaan perundungan yang terjadi pada N, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut akan mendalaminya. Komisioner Retno Listiyarti mengatakan pada Senin (20/01) ia akan menemui langsung pihak sekolah untuk memastikan laporan Dinas Pendidikan yang menyebut tidak ada tindakan perundungan pada korban.

"Pada Sabtu (18/01) saya tanyakan hasil koordinasi Dinas Pendidikan dan SMP N 147, mereka menyatakan tidak ada bullying, tapi KPAI tak main percaya informasi itu.

"Karena biasanya kalau tanya pihak sekolah apakah gara-gara bullying, sudah pasti dijawab tidak," ujar Retno Listiyarti kepada BBC, Minggu (19/01).

"Jadi ini perlu didalami," sambungnya.

Sejauh pengamatan KPAI, hampir semua sekolah tidak memiliki sistem pengaduan yang melindungi korban dan saksi perundungan. Padahal sistem tersebut wajib dibentuk sekolah sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Sistem yang dimaksud itu berupa tim pencegahan yang terdiri dari kepala sekolah, perwakilan guru, siswa, dan orang tua.

Di peraturan itu juga disebutkan sekolah wajib memasang papan layanan pengaduan tindak kekerasan yang mudah diakses oleh siswa, orang tua, atau guru. Papan layanan itu memuat nomor telepon dan alamat email.

Tapi karena ketiadaan tim pencegahan, menurut Retno, tidak ada siswa yang berani melaporkan kasus perundungan.

"Sekolah tak punya sistem pengaduan sehingga mereka enggan mengadu dan melapor. Kalau mengadu atau melapor, ya sama saja bunuh diri atau sama dengan mencari masalah baru. Sudah dibully, mengadu, jadi masalah."

"Guru-guru juga sebenarnya sih saya yakin tahu bahwa ada pembully-an di sekolah, hanya kepekaan orang dewasa di sekitar anak yang kurang."

"Jadi memang mencari informasi yang tepat ke anak, syaratnya anak percaya sama kita (guru). Ini yang kurang dilakukan. Jadi informasi detail soal bully, bertanya langsung ke siswa, karena mereka yang paling tahu."

Pengamatan KPAI, perundungan yang dialami siswa tidak hanya berbentuk kekerasan fisik tapi juga verbal. Sayangnya, kekerasan verbal kerap dianggap lumrah oleh guru.

"Misalnya seorang anak gemuk, lalu dipanggil gembrot, pasti dia tak mau. Itu bullying. Atau anak yang kurus dipanggil ceking, juga pasti tak mau," tukas Retno.

"Nah kebanyakan guru bilang, 'sabar saja, hindari, atau tak usah diladeni'."

"Jadi sebenarnya bullying yang menentukan korban. Kalau korban merasa tak nyaman, itu perisakan. Jadi tak bisa kita bilang, 'baru digituin aja marah'. Itu enggak bisa."

Catatan KPAI pada 2018, korban perundungan di sekolah mencapai 107 anak. Sementara perisakan di media sosial sebanyak 109 anak.

'Perlu ada yang peduli dan mendengar'

Psikolog Anak, Seto Mulyadi, menyebut perundungan atau perisakan kepada anak dan remaja bisa berdampak pada tindakan bunuh diri jika terjadi terus menerus dan tidak diselesaikan.

"Remaja itu kompleks, karena punya harga diri dan ketika tidak ada satupun yang memahami, maka teralienasi ke tempat lain alias bunuh diri," ujar Seto Mulyadi kepada BBC News Indonesia, Minggu (19/02).

Itu mengapa sejak lama ia mendesak pemerintah yakni Kementerian Pendidikan agar serius membentuk tim atau satuan tugas di tiap sekolah yang fungsinya melindungi anak dari perundungan.

"Itu sudah lama kami lontarkan. Kami akan tegaskan lagi kepada Menteri Nadiem bahwa kasus-kasus di sekolah karena anak-anak tidak didengar suaranya," imbuhnya.

"Sebab kalau ada masalah, bisa cepat mengadu ke situ, jadi anak tahu."

Ia menjelaskan, usia remaja sangat rentan ketika menghadapi masalah. Pilihan pada tindakan mengakhiri hidup akan muncul jika remaja atau anak tersebut tak mendapat tempat untuk 'bercerita' atau 'didengar'.

"Secara psikologis, siapapun yang akan mengakhiri hidup sudah sampai pada satu titik dia betul-betul sendirian di dunia ini, makanya perlu ada yang peduli dan yang mau mendengar."

Jika Anda, sahabat, atau kerabat memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas dan Rumah Sakit terdekat.

Anda juga dapat mencari informasi mengenai depresi dan kesehatan jiwa dengan mengontak sejumlah komunitas untuk mendapat pendampingan seperti LSM Into The Light melalui intothelightid.orgdan Yayasan Pulih pada laman yayasanpulih.org.

Let's block ads! (Why?)



"semua" - Google Berita
January 20, 2020 at 06:22AM
https://ift.tt/2v0lIgs

Siswi SMP 147 bunuh diri di sekolah, KPAI : Hampir semua sekolah tak punya tim pencegahan perundungan - BBC Indonesia
"semua" - Google Berita
https://ift.tt/34ta3Di
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Siswi SMP 147 bunuh diri di sekolah, KPAI : Hampir semua sekolah tak punya tim pencegahan perundungan - BBC Indonesia"

Post a Comment

Powered by Blogger.