Search

Singapura tempatkan semua PKL di dalam gedung demi alasan kebersihan, bagaimana dengan kota-kota di Asia lainnya? - BBC Indonesia

Makanan lezat yang disajikan pedagang kaki lima di Asia Tenggara adalah bagian penting dari karakter dan daya tarik wisata di kawasan itu. Jadi apa yang terjadi jika mereka dipindahkan ke dalam ruangan?

Di dapur mungil seluas dua meter persegi tempat Melvin bekerja bersama ibunya, nyaris tak ada ruang bagi keduanya untuk berdiri di antara tong-tong berisi saus yang direbus, ember berisi jeroan, kantung beras dan daging bebek yang digantung.

Melvin tumbuh menyaksikan orang tuanya mengelola kios makanan itu di Singapura.

Hal itu membuatnya berhasrat untuk meneruskan bisnis itu.

"Saya suka pekerjaan ini. Saya suka menjadi penjaja kaki lima," katanya, sebelum mengakui itu adalah cara yang "sangat sulit" untuk mencari nafkah.

Mereka mulai bekerja sedari pagi.

Tak lama setelah pukul 7 pagi, mereka mengumpulkan bahan-bahan segar, membuka pintu kios, lalu dengan susah-payah mencuci usus babi dan potongan-potongan lemak dari kulit babi di air dingin.

Telur harus direbus setengah matang, sayuran dan tahu dipotong, daging dimasak, saus dan hiasan makanan disiapkan.

Pada waktu makan siang, warung mereka menghasilkan 200 porsi kway chap dan bebek rebus sehari, hidangan yang berasal dari Guangdong di China selatan, yang kaya akan rasa kulit jeruk, adas manis, cabai dan kayu manis.

Di sebagian besar kota di Asia, penjaja makanan berjejer di jalanan, dengan aroma masakan yang memikat orang yang lewat.

Tetapi pelanggan Melvin bisa makan di bawah lindungan atap, yakni di lantai dua kompleks pertokoan yang dibangun khusus.

Mereka makan di atas meja yang dilapisi formika dan aroma masakan disedot oleh kipas penghisap asap.

"Makanan jalanan di Singapura bukanlah makanan yang dijual di jalanan. Ini adalah gaya makanan yang berasal dari jalanan," kata KF Seetoh, seorang konsultan kuliner dan juru bicara tidak resmi untuk penjaja makanan di kota tersebut.

Singapura adalah kota yang dibangun oleh migrasi.

Gelombang orang India, China, Indonesia, dan lainnya telah membanjiri kota paling makmur di kawasan itu, yang bergabung dengan orang Melayu asli. Namun sejak awal, para pekerja migran mendambakan hidangan 'khas rumah'.

"Pada 1950-an ada 22.000 pedagang keliling di jalanan," kata Seetoh. "Beberapa orang mengatakan 'singkirkan mereka'."

Sebaliknya, katanya, pihak berwenang membuat "keputusan yang sangat praktis" - untuk membawa mereka ke dalam ruangan.

Ini adalah pendekatan yang baik di Singapura. Negara ini terkenal dengan beragam makanan yang harganya terjangkau. Dua pedagang makanan di kota telah dianugerahi penghargaan bintang Michelin.

Beberapa pedagang telah menciptakan restoran yang menguntungkan, bahkan telah berkembang di luar negeri.

Pemerintah Singapura menerapkan budaya jajanan untuk diakui oleh Unesco untuk status "warisan budaya takbenda", bersama dengan bir Belgia dan kedai kopi Turki.

Keberhasilan itu, kata Seetoh, disebabkan oleh keputusan Singapura untuk membersihkan dan mengatur sektor ini.

"Mereka mengatakan, jika kamu akan memakannya, lebih baik makanan itu aman, karena kita tidak tahu dari mana orang-orang di jalan ini mendapatkan persediaan mereka. Apakah mereka mencuci tangan? Apakah mereka higienis?"

Sejak 1960-an dan seterusnya, penjual makanan jalanan ditempatkan di pusat jajanan yang dibangun khusus di seluruh negara.

Fasilitas itu dilengkapi dengan air yang mengalir, listrik, drainase, dan alat penghisap asap.

Seiring dengan fasilitas baru itu, dibuat juga sejumlah peraturan.

Jangan memotong dan menyiapkan makanan di atas kayu berpori - permukaan harus terbuat dari stainless steel. Pisahkan daging yang dimasak dan tidak dimasak, dan simpan pada suhu yang tepat. Pakai sarung tangan. Periksa sumber bahan Anda.

Setiap kios diberi peringkat kebersihan.

"Inilah yang kami harapkan dari pemerintah yang sangat efisien ini," kata Seetoh. "Kami menyebutnya ketenangan pikiran. Siapa yang tidak menginginkan itu?

Jawabannya adalah banyak orang lain di wilayah itu.

Warga Malaysia mencibir ketika Singapura mengajukan permohonan pengakuan warisan Unesco, dengan alasan makanan kota itu telah kehilangan keasliannya sejak tidak lagi berada di jalanan.

Bangkok sekarang berusaha untuk mengikuti jejak Singapura dengan membawa pedagang kaki limanya ke pusat-pusat yang dibangun khusus dalam upaya untuk membersihkan trotoar.

Namun, pihak berwenang menghadapi penolakan dari mereka yang mengatakan karakter dan daya tarik ibu kota Thailand akan hilang jika pedagang makanan dibawa ke dalam ruangan.

Jorge Carillo, seorang antropolog yang mempelajari tentang makanan jalanan Asia Tenggara, mengatakan langkah seperti ini didorong preferensi generasi pelanggan baru, di negara-negara seperti Vietnam, untuk standar kebersihan yang lebih tinggi dan pusat perbelanjaan ber-AC.

Selain itu, biaya hidup meningkat, sementara pelanggan mengharapkan harga untuk makanan jalanan tetap rendah.

Tetapi, di atas semua itu, apa yang merongrong prospek sektor ini adalah keadaan pekerjaan sehari-hari yang harus dijalani oleh pedagang, katanya.

"Saya punya masalah dengan beberapa orang, karena mereka terus mendorong beroperasinya makanan jalanan karena itu dianggap memberi karakter kota," kata Carillo.

"Kenyataannya adalah menjual makanan jalanan merupakan pekerjaan yang sangat sulit."

"Apa yang berubah adalah kesempatan kerja yang akan datang, dan orang-orang akan berhenti untuk melakukan kerja keras ini," katanya.

Seorang perempuan penjual makanan di Bangkok yang dia wawancarai mulai berbelanja bahan-bahan jam 3 pagi, pergi ke kiosnya jam 7 pagi dan kemudian menjual makanan selama delapan hingga 10 jam.

"Jika dia mendapat kesempatan lain tentu saja dia akan berhenti," katanya.

Hal yang sama berlaku di Singapura, karena generasi pertama pedagang jalanan, sekarang berusia 60-an dan 70-an pensiun.

Terbukti sulit untuk membujuk kaum milenial, yang banyak di antaranya memiliki gelar, dan bercita-cita menjadi wirausaha atau bekerja di gedung-gedung tinggi Singapura, untuk mengambil alih tanggung jawab bisnis itu.

Hal itu juga bukan cita-cita orang tua mereka.

Melvin adalah pengecualian.

"Awalnya ibu saya sangat menentang anak-anaknya menjadi pedagang jalanan karena jam kerja yang panjang," katanya. "Dia ingin saya bekerja di kantor." Ketika ayahnya meninggal, Melvin tidak tega menutup bisnis keluarga.

Sekarang mereka menghasilkan hanya sekitar 6.000 dolar Singapura (Rp 65 juta) untuk sebulan selama enam hari kerja seminggu.

"Ada begitu banyak tantangan," kata KF Seetoh.

Dia menambahkan bahwa dia telah "berteriak dan menangis tentang kehancuran budaya makanan yang akan datang" untuk beberapa waktu - semua karena ancaman generasi kini yang tampaknya tidak ada yang tahu bagaimana cara mengatasinya.

Ada titik-titik cerah harapan - pendatang baru seperti Michelle Yee Yuan dan suaminya Alan berhenti dari pekerjaan kantoran untuk membuka sebuah kios yang tidak jauh dari kios Melvin.

Mereka menyediakan ham cha gaya Korea, campuran sayuran, kacang, dan nasi yang dikombinasikan dengan sup ramuan pahit.

Bahan-bahan ini dirancang untuk menarik konsumen muda yang sadar kesehatan, dan mereka bekerja keras untuk mempromosikannya di media sosial.

"Untuk mendapatkan pelanggan baru adalah salah satu tantangan," kata Michelle. Dia mengatakan sulit untuk bekerja 12-14 jam sehari.

Awalnya Michelle sering jatuh sakit karena pekerjaan itu.

Namun Michelle mengatakan dia mencintai pekerjaan, lingkungannya, dan bekerja bersama suaminya sepanjang hari.

"Dan saya bekerja untuk apa yang saya ciptakan sendiri," katanya.

Anda dapat mendengarkan program radio yang menyertai topik ini dari The Food Chain di BBC World Service.

Let's block ads! (Why?)



"semua" - Google Berita
March 19, 2020 at 07:10PM
https://ift.tt/2WnNAH8

Singapura tempatkan semua PKL di dalam gedung demi alasan kebersihan, bagaimana dengan kota-kota di Asia lainnya? - BBC Indonesia
"semua" - Google Berita
https://ift.tt/34ta3Di
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Singapura tempatkan semua PKL di dalam gedung demi alasan kebersihan, bagaimana dengan kota-kota di Asia lainnya? - BBC Indonesia"

Post a Comment

Powered by Blogger.